Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sudah dinobatkan sebagai partai pemenang Pemilihan
Umum 2014. Partai besutan Megawati Soekarnoputri ini memperoleh 23.681.471 suara,
atau 18.95 persen. Dengan hasil tersebut, mereka memperoleh 109 kursi di DPR.
Walaupun memenangi pemilu, bukan berarti PDIP menguasai parlemen. Meskipun sudah digabungkan dengan partai koalisi mereka, yakni Partai NasDem, PKB dan Hanura, komposisi di parlemen hanya mencapai 207 kursi. Dibandingkan dengan Koalisi Merah Putih yang berjumlah 353 kursi.
Hasilnya, mereka pun beberapa kali dikalahkan kekompakan kubu Prabowo dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang strategis. Kekalahan pertama dimulai dari disahkannya Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, berlanjut ke RUU Pilkada, penyusunan tata tertib anggota DPR dan terakhir pemilihan pimpinan DPR.
Dengan kondisi tersebut, akademisi Ilmu Politik Universitas Paramadina Arya Fernandez memandang PDIP agar tidak lagi jumawa sebagai partai pemenang pemilu. Walaupun menang dalam dua pertarungan politik, yakni Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), akan tetapi mereka tetap kalah telak di parlemen.
"PDIP sebagai partai penguasa harus menurunkan grade-nya, ini perlu dilakukan agar level negosiasi antar partai berjalan dengan seimbang. Tidak bisa hanya mengandalkan faktor kemenangan, apalagi terhadap Demokrat yang pernah menjadi partai penguasa, jadi level komunikasi harus seimbang juga," ungkap Arya.
Contohnya, pendekatan yang dilakukan oleh PDIP kepada partai lain di DPR harus diubah, termasuk di antaranya Partai Demokrat. Sebagai bekas partai penguasa, tentu saja Demokrat masih mempunyai efek psikologis yang tidak bisa diperlakukan layaknya partai-partai kecil lainnya.
Kemampuan negosiasi pun harus diperhatikan betul supaya bisa mendapatkan kawan baru di DPR. Tidak hanya terpaku kepada senioritas tapi juga menjadi inisiator terhadap partai lain.
"Jadi posisi politik negosiator harus seimbang, kalau negosiasi politisi senior harus berpengaruh," tegasnya.
Walaupun memenangi pemilu, bukan berarti PDIP menguasai parlemen. Meskipun sudah digabungkan dengan partai koalisi mereka, yakni Partai NasDem, PKB dan Hanura, komposisi di parlemen hanya mencapai 207 kursi. Dibandingkan dengan Koalisi Merah Putih yang berjumlah 353 kursi.
Hasilnya, mereka pun beberapa kali dikalahkan kekompakan kubu Prabowo dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang strategis. Kekalahan pertama dimulai dari disahkannya Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, berlanjut ke RUU Pilkada, penyusunan tata tertib anggota DPR dan terakhir pemilihan pimpinan DPR.
Dengan kondisi tersebut, akademisi Ilmu Politik Universitas Paramadina Arya Fernandez memandang PDIP agar tidak lagi jumawa sebagai partai pemenang pemilu. Walaupun menang dalam dua pertarungan politik, yakni Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), akan tetapi mereka tetap kalah telak di parlemen.
"PDIP sebagai partai penguasa harus menurunkan grade-nya, ini perlu dilakukan agar level negosiasi antar partai berjalan dengan seimbang. Tidak bisa hanya mengandalkan faktor kemenangan, apalagi terhadap Demokrat yang pernah menjadi partai penguasa, jadi level komunikasi harus seimbang juga," ungkap Arya.
Contohnya, pendekatan yang dilakukan oleh PDIP kepada partai lain di DPR harus diubah, termasuk di antaranya Partai Demokrat. Sebagai bekas partai penguasa, tentu saja Demokrat masih mempunyai efek psikologis yang tidak bisa diperlakukan layaknya partai-partai kecil lainnya.
Kemampuan negosiasi pun harus diperhatikan betul supaya bisa mendapatkan kawan baru di DPR. Tidak hanya terpaku kepada senioritas tapi juga menjadi inisiator terhadap partai lain.
"Jadi posisi politik negosiator harus seimbang, kalau negosiasi politisi senior harus berpengaruh," tegasnya.
LIKE & SHARE
0 Response to "Pengamat sebut PDIP jangan bangga jadi pemenang"
Posting Komentar