Presiden RI Jokowi berencana akan menghidupkan kembali salah satu pasal dalam draf KUHP mengenai penghinaan terhadap presiden. Menurutnya, pasal tersebut ada untuk melindungi presiden sebagai simbol negara.
"Urusannya presiden sebagai simbol negara bukan pas saya saja kan, nantinya juga jangka panjang," ungkap Jokowi setelah selesai melakukan peresmian di Pelabuhan Kali Adem, Jakarta, Selasa 4 Agustus 2015.
Jokowi menilai pasal penghinaan presiden perlu ada dalam KUHP agar memproteksi masyarakat yang bersikap kritis sehingga tidak terjerat pada pasal-pasal karet yang berujung pidana. Oleh sebab itu, pemerintah menambahkan Butir pasal dalam pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP.
Dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 itu nantinya dijelaskan bahwa "setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Kemudian di dalam ayat selanjutnya ditambahkan bahwa "tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri".
Ketua DPR Setya Novanto mempunyai sikap ngambang mengenai Pasal 263 ayat 1 dan diperluas lewat pasal 264 RUU KUHP yang disodorkan pemerintah tentang penghinaan presiden. Setya Novanto menyatakan bahwa nama baik presiden harus tetap dijaga. Maka dari itu setiap orang tidak boleh melakukan penghinaan. Tapi di sisi lain kritik harus tetap ada dan disampaikan secara bertanggung jawab.
Pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menghapus pasal itu. Tidak cuma menghapus Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP, MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus norma itu dari RUU KUHP.
Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing mengatakan, pemerintah harus mempertegas bunyi kalimat di dalam pasal penghinaan tersebut. Karena, jangan sampai pasal penghinaan terhadap presiden itu nantinya justru menghambat kebebasan berpendapat.
"Penghinaan adalah menyangkut tentang menyamakan seorang manusia yang bukan manusia dan yang tidak menyampaikan kata-kata yang tidak sepantasnya atau orang itu diibaratkan sebagai piaraan di rumah. Tetapi kalau misalnya kita mengkritik pemerintah tidak becus saya kira hal yang wajar," ungkap Emrus Sihombing.
Imbuh Emrus Sihombing, terlebih melihat perkembangan zaman pada saat ini, yang mana tidak menutup kemungkinan kritik bisa dilayangkan melalui jalur apapun dan selama kritik itu membangun menurutnya hal wajar. Oleh sebab itu, pemerintah harus lebih mempertegas lagi butir dalam pasal penghinaan presiden tersebut.
"Kalau memang sekarang dihidupkan lagi pasal penghinaan presiden itu dibuat dalam batasan yang terukur saya kira sangat wajar tapi kalau pasal tersebut sangat abstrak maka bisa dimanfaatkan pemimpin untuk membawa ke ranah hukum. Sehingga definisi penghinaan itu harus dipertegas secara terukur jangan abstrak sehingga dapat menghambat kebebasan berpendapat," pungkasnya.
LIKE & SHARE
0 Response to "Presiden Jokowi berencana akan menghidupkan kembali pasal mengenai penghinaan terhadap presiden"
Posting Komentar